Perusahaan manufaktur di Indonesia memiliki kebutuhan mendesak untuk mengadopsi praktik bisnis yang lebih berkelanjutan, terutama dalam dekarbonisasi proses produksi dan peningkatan efisiensi energi.
Sektor manufaktur merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia, dengan kontribusi sebesar 18% terhadap PDB.
Sektor manufaktur merupakan penyumbang signifikan terhadap emisi nasional, yaitu sekitar 28%, dengan subsektor seperti bahan kimia, semen, pulp dan kertas, makanan dan minuman, besi dan baja, plastik, sabun dan deterjen, serta tekstil sebagai penyumbang emisi tertinggi.
Meskipun kebijakan nasional terkait dekarbonisasi masih dalam tahap pengembangan, teknologi yang tersedia saat ini memungkinkan sektor ini untuk mengurangi emisi secara signifikan dan bertransisi menuju operasi rendah karbon.
Dalam laporan ini, Climateworks Centre menganalisis teknologi efisiensi energi dan mewawancarai para ahli dalam industri bahan kimia, tekstil, serta makanan dan minuman.
Kami mendapati bahwa meskipun sebagian besar teknologi efisiensi energi telah berkembang, penerapannya masih beragam.
Temuan ini mengindikasikan adanya peluang besar, terutama bagi sektor-sektor yang intensif energi seperti bahan kimia, tekstil, serta makanan dan minuman, untuk memanfaatkan teknologi yang sudah mapan.
Sektor-sektor ini dapat mencapai penghematan energi yang signifikan melalui modernisasi peralatan dan proses produksi, yang pada akhirnya akan mengurangi biaya operasional dan meningkatkan daya saing.
Strategi dekarbonisasi dan efisiensi energi sangat bergantung pada adopsi teknologi yang efisien, optimalisasi proses, dan minimalisasi penggunaan energi selama periode tidak produktif.
Meskipun investasi awal mungkin diperlukan, teknologi ini menawarkan keuntungan finansial jangka panjang yang signifikan melalui pengurangan biaya utilitas dan ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Bagi industri seperti semen, baja, dan bahan kimia, transisi menuju proses hemat energi dan teknologi rendah karbon dapat meningkatkan produktivitas sekaligus mengurangi biaya operasional.
Selain itu, penghematan energi yang terakumulasi dari waktu ke waktu dapat menjadi landasan finansial yang kuat untuk investasi lebih lanjut dalam teknologi rendah karbon di masa depan.
Usaha kecil dan menengah (UKM) seringkali menghadapi tantangan dalam mengakses pembiayaan untuk implementasi teknologi-teknologi ini.
Meskipun biaya awal dapat menjadi kendala, terdapat solusi kebijakan dan keuangan yang dapat mendukung upaya tersebut.
Kebijakan seperti insentif pajak, standar efisiensi energi, dan sertifikat energi terbarukan dapat membantu mengurangi biaya awal dan mendorong investasi.
Kerja sama antara pemerintah dan badan usaha, penerbitan obligasi hijau, dan pinjaman berbunga rendah semakin banyak tersedia untuk menyediakan modal bagi investasi rendah karbon.
Mekanisme ini dapat memastikan bahwa baik perusahaan besar maupun UKM memiliki akses terhadap sumber daya yang diperlukan untuk menerapkan teknologi hemat energi dan mendekarbonisasi operasi mereka.
Banyak perusahaan yang membutuhkan investasi modal yang besar untuk memodernisasi peralatan, beralih ke alternatif rendah karbon seperti bahan bakar nabati, dan meningkatkan efisiensi energi.
Strategi utama bagi sektor ini meliputi optimalisasi sistem HVAC, penggunaan lampu LED, dan peningkatan sistem udara bertekanan – yang masing-masing menawarkan peluang untuk mengurangi konsumsi energi dan meningkatkan efisiensi operasional.
Investasi dalam teknologi yang lebih efisien akan membantu industri memenuhi persyaratan peraturan yang semakin ketat dan mempersiapkan diri untuk keberlanjutan dan daya saing jangka panjang dalam ekonomi global yang semakin rendah karbon.

Standar Pelaporan Keuangan Internasional untuk pengungkapan terkait iklim (IFRS S2) dan empat pilar dekarbonisasi Climateworks, yang dijelaskan dalam laporan ini, memiliki komponen yang sama terkait efisiensi energi, tenaga listrik terbarukan, dan elektrifikasi.
Standar internasional seperti IFRS S2 sangat penting untuk mendorong perusahaan mempertimbangkan risiko dan peluang terkait perubahan iklim.
Standar ini mengharuskan perusahaan untuk berbagi informasi secara publik tentang risiko dan peluang terkait iklim, termasuk emisi, target, dan rencana transisi mereka.
Peningkatan transparansi ini membantu investor dan pemangku kepentingan lainnya dalam membuat keputusan yang lebih informasi tentang perusahaan.
Indonesia sedang bersiap untuk menerapkan standar serupa, dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang saat ini sedang mengembangkan peraturan untuk melakukan penyelarasan dengan standar internasional.
Sebagai contoh, industri bahan kimia memiliki persyaratan IFRS S2 yang ketat di semua pilar dekarbonisasi, sementara IFRS S2 untuk industri makanan olahan terutama berfokus pada efisiensi energi dan energi terbarukan.
Untuk industri tekstil, yang merupakan kontributor signifikan terhadap emisi karbon global, IFRS S2 berfokus pada identifikasi perusahaan yang berkelanjutan dan memiliki kesadaran lingkungan yang kuat, mengingat penggunaan energi industri tersebut belum sepenuhnya terungkap.
International Sustainability Standards Board (ISSB), yang mengembangkan IFRS, terus menyempurnakan standar ini dengan mempertimbangkan tantangan keberlanjutan khusus industri dan menyelaraskan metrik dengan model bisnis dan kegiatan ekonomi.
Penggunaan kerangka kerja Transition Plan Taskforce juga dapat meningkatkan daya tarik perusahaan bagi investor yang peduli terhadap keberlanjutan, dengan menghubungkan upaya dekarbonisasi dengan peluang pendanaan.
Perencanaan transisi, yang mencakup penetapan target iklim dan penyesuaian model bisnis secara strategis untuk masa depan rendah karbon, sangat penting bagi perusahaan, terutama dalam ekonomi di mana keterbatasan teknis dan data menjadi hambatan.
Perusahaan yang mampu merumuskan rencana pengurangan emisi mereka dalam ‘rencana transisi’ merupakan kandidat yang lebih baik untuk mendapatkan dukungan pemerintah dan keuangan, seperti pembiayaan hijau, yang dapat sangat mempercepat upaya dekarbonisasi mereka.
Panduan dekarbonisasi khusus sektor dapat membantu perusahaan menerapkan langkah-langkah dekarbonisasi yang praktis dan berdampak, serta bertransisi menuju operasi rendah karbon dengan cara yang layak secara finansial.
Laporan ini menyoroti langkah-langkah yang dapat diambil oleh perusahaan manufaktur untuk melakukan dekarbonisasi sambil mendukung sasaran bisnis yang lebih luas.
Laporan ini juga mencakup kerangka kerja untuk upaya dekarbonisasi secara komprehensif, yang dapat membantu memandu perusahaan saat mengembangkan rencana transisi dan mengkomunikasikan rencana dekarbonisasi mereka kepada para pemangku kepentingan di Indonesia dan secara global melalui pengungkapan yang mengikuti standar pengungkapan keberlanjutan internasional.
Laporan ini menyajikan langkah-langkah dekarbonisasi untuk tiga subsektor penyumbang emisi tertinggi di industri manufaktur Indonesia – makanan dan minuman, tekstil, dan bahan kimia.
Analisis kami menunjukkan bagaimana teknologi yang tersedia dapat mendukung rencana dekarbonisasi perusahaan pada empat pilar dekarbonisasi: meningkatkan efisiensi energi, menggunakan listrik terbarukan, elektrifikasi dan peralihan bahan bakar, serta mengurangi emisi non-energi.
Laporan ini mengevaluasi tindakan praktis jangka pendek hingga menengah, teknologi yang tersedia, dan potensi pengurangan emisi masing-masing, dengan mempertimbangkan rencana transisi komprehensif yang semakin penting bagi perusahaan yang mematuhi amanat pengungkapan terkait iklim seperti IFRS S2.
ISBN: 978-1-7637231-2-2