Aksi iklim berbasis kelautan berpotensi mengurangi seperempat emisi gas rumah kaca (GRK) tahunan global, yang dijanjikan dalam Paris Agreement. Sejalan dengan hal itu, Climateworks memetakan dan mengukur secara detail potensi mitigasi perubahan iklim berbasis kelautan di Indonesia.
Melalui Tahap 1 dari proyek Southeast Asia Framework for Ocean Action in Mitigation project (SEAFOAM), Climateworks mengeksplorasi berbagai opsi mitigasi perubahan iklim di pesisir dan lepas pantai Indonesia, sekaligus menggabungkan data kualitatif dan kuantitatif dari opsi-opsi tersebut.
Analisis SEAFOAM mengidentifikasi tiga sektor atau intervensi yang memiliki peluang mitigasi emisi yang signifikan bagi Indonesia, antara lain:
- Memperluas perlindungan dan pemulihan ekosistem karbon biru;
- Investasi dalam energi terbarukan lepas pantai
- Dekarbonisasi sektor pelayaran dan transportasi laut.
Mengapa mitigasi berbasis kelautan penting?
Dengan mengikutsertakan mitigasi berbasis kelautan ke dalam nationally determined contributions (NDC), negara-negara dapat membantu mempercepat pencapaian target Paris Agreement, yaitu membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat. Secara global, mitigasi perubahan iklim berbasis kelautan dapat mengurangi emisi tahunan sebesar 11,8 GtCO2e sampai tahun 2050. Angka ini setara dengan 31% dari total emisi bahan bakar fosil dunia di tahun 2021.
Indonesia adalah salah satu negara terpenting di dunia yang bisa berperan dalam mitigasi perubahan iklim berbasis kelautan. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut tiga kali luas daratannya. Sampai saat ini, belum ada negara dengan sektor maritim dan ekonomi sebesar dan sekompleks Indonesia yang mencoba memasukkan mitigasi berbasis kelautan secara substansial dalam NDC-nya.
Melalui SEAFOAM, Climateworks’ SEAFOAM menganalisis peluang mitigasi di tiga sektor; karbon biru (blue carbon), energi terbarukan lepas pantai, dan perkapalan.
Dari ketiga sektor tersebut, Climateworks menemukan bahwa kegiatan mitigasi berbasis kelautan dapat menjadi komponen utama pencapaian Indonesia menuju emisi nol bersih. Hal ini tentunya bisa dicapai jika Indonesia dapat menetapkan target dan membangun tata kelola untuk pemantauan dan pelaporan emisi.
Lamun (seagrass) memiliki potensi blue carbon yang besar
Indonesia telah berkomitmen untuk meningkatkan NDC-nya. Di dalamnya, Indonesia berkomitmen untuk melindungi ekosistem dan menjadi penyerap karbon pada tahun 2030 melalui sektor kehutanan dan lahan. Namun, peran ekosistem blue carbon belum terdefinisi dengan baik.
Analisis kami menemukan ekosistem blue carbon sedang mengalami degradasi di Indonesia. Degradasi ekosistem blue carbon berpotensi menurunkan stok karbon dan meningkatkan emisi Indonesia.
SEAFOAM Tahap 1 melakukan pemetaan awal potensi kawasan lamun yang bertujuan untuk menunjukkan potensi mitigasi dari pengurangan degradasi padang lamun di Indonesia.
Analisis kami juga membahas potensi lamun untuk diikutsertakan ke dalam NDC, bersama mangrove – yang saat ini sudah berproses.
Kami menemukan adanya kesenjangan signifikan terkait data lamun di Indonesia, khususnya kelangkaan data yang terverifikasi di lapangan dan tidak adanya data rata-rata tingkat degradasi di nasional. Hal ini menciptakan tantangan untuk mengukur potensi mitigasi emisi dari lamun.
Dengan memasukkan lamun ke dalam kerangka pemantauan dan pelaporan NDC, sekaligus berkomitmen pada perlindungan dan restorasi lamun, Indonesia berpotensi untuk memitigasi emisi sebesar 17 – 60 MtCO2e pada tahun 2030.
Ada peluang signifikan dari energi terbarukan lepas pantai – jika tindakan dimulai sejak sekarang
Sektor energi saat ini merupakan sumber emisi terbesar kedua di Indonesia, yang mayoritas bersumber dari penggunaan batubara.
Pertumbuhan penduduk dan konsumsi energi akan semakin meningkatkan total kebutuhan energi.
Indonesia telah berkomitmen untuk memenuhi 23% penyediaan energi dari energi baru dan terbarukan pada tahun 2025. Angka ini meningkat menjadi 31% pada tahun 2050. Namun target tersebut belum mengoptimalkan seluruh potensi energi terbarukan di lepas pantai – yang dapat berperan besar dalam memenuhi target bauran energi di Indonesia.
SEAFOAM Tahap 1 memetakan potensi empat teknologi terbarukan lepas pantai saat ini: pasang surut, angin (on-shore atau pesisir), ocean thermal energy conversion (OTEC), dan angin lepas pantai. Energi dari angin lepas pantai memiliki potensi terbesar yang dapat diterapkan secara ekonomis dan komersial, dengan dampak lingkungan yang minimal.
Temuan Climateworks menunjukkan bahwa jika Indonesia mengoptimalkan energi angin lepas pantai, ada potensi mitigasi emisi sebesar 0,32 MtCO2e pada tahun 2030. Potensi ini akan terus berkembang hingga tahun 2050, mencapai 180 MtCO2e.
Analisis kami menunjukkan bahwa berdasarkan potensi energi terbarukan yang siap dikomersialkan, Papua dan Maluku memiliki potensi yang sangat besar untuk memproduksi energi dari tenaga angin lepas pantai. Akan tetapi permintaan energi di kedua provinsi ini masih jauh lebih rendah dari kapasitas yang bisa diproduksi.
Industri dan infrastruktur menawarkan potensi yang bisa dimanfaatkan
Pelayaran domestik dan angkutan air memainkan peran penting dalam pergerakan orang dan barang antar pulau di Indonesia. Indonesia juga sedang mengupayakan dekarbonisasi pelayaran domestik melalui konversi ke biodiesel. Namun, saat ini belum ada target dalam NDC Indonesia untuk sektor pelayaran dan angkutan laut dalam negeri.
Untuk mengidentifikasi peluang dekarbonisasi, SEAFOAM Tahap 1 memetakan jumlah perjalanan dan penumpang yang dibawa pada rute pelayaran domestik utama.
Kami mengidentifikasi rute feri mana yang cocok untuk elektrifikasi, berdasarkan pelayaran di bawah 40 km (rute feri komersial terpanjang yang saat ini beroperasi).
Dari 10 rute penyeberangan yang paling banyak digunakan di Indonesia (yang mengangkut 74% dari seluruh penumpang penyeberangan pada tahun 2021) 8 cocok untuk dikonversi ke elektrifikasi. Misalnya, jika feri antara Jawa dan Bali dapat dialiri listrik, hal ini dapat mengurangi emisi secara signifikan untuk 6,2 juta penumpang setiap tahunnya.
Temuan kami, sektor pelayaran dapat menyumbang 2.8 MtCO2e pengurangan emisi setiap tahun hingga 2030, jika mampu mengurangi intensitas karbon sesuai dengan skenario 1.5 derajat dari International Renewable Energy Agency
Tahap 1 SEAFOAM berupaya menyatukan pilihan aksi perubahan iklim berbasis kelautan di tiga sektor. Hal ini untuk menunjukkan sumbangsih yang dapat diberikan oleh sumber daya pesisir dan laut dalam upaya dekarbonisasi, menuju emisi nol bersih.
Laporan lengkap yang merinci temuan dan sumber secara utuh, akan dipublikasikan pada tahun 2023 ini.
Metodologi penghitungan emisi dari mitigasi saat ini masih dalam tinjauan, angka mitigasi yang ditampilkan di sini masih bisa berubah sampai terbitnya Laporan Ringkasan.